Pembelajaran Inovatif II

Sulis seriyawati ( 1331100 ) Prodi Pendidikan Matematika 2013 A STKIP PGRI SIDOARJO Dosen Pengampu : Lestariningsih,S.Pd.,M.Pd




Langkah-Langkah Pembelajaran pada Pendekatan Scientific (Pendekatan Ilmiah)

1.     Mengamati
Metode mengamati mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull learning). Metode ini memiliki keunggulan  tertentu, seperti menyajikan media obyek secara nyata, peserta didik senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya. Tentu saja kegiatan mengamati dalam rangka pembelajaran ini biasanya memerlukan waktu persiapan yang lama dan matang, biaya dan tenaga relatif banyak, dan jika tidak terkendali akan mengaburkan makna serta tujuan pembelajaran.
2.      Menanya
Guru yang efektif mampu menginspirasi peserta didik untuk meningkatkan dan mengembangkan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuannya. Pada saat guru bertanya, pada saat itu pula dia membimbing atau memandu peserta didiknya belajar dengan baik. Ketika guru menjawab pertanyaan peserta didiknya, ketika itu pula dia mendorong asuhannya itu untuk menjadi penyimak dan pembelajar yang baik.
Berbeda dengan penugasan yang menginginkan tindakan nyata, pertanyaan dimaksudkan untuk memperoleh tanggapan verbal. Istilah “pertanyaan” tidak selalu dalam bentuk “kalimat tanya”, melainkan juga dapat dalam bentuk pernyataan, asalkan keduanya menginginkan tanggapan verbal. Bentuk pertanyaan, misalnya: Apakah ciri-ciri kalimat yang efektif? Bentuk pernyataan, misalnya: Sebutkan ciri-ciri kalimat efektif!
3.      Menalar
Istilah “menalar” dalam kerangka proses pembelajaran dengan pendekatan ilmiah yang dianut dalam Kurikulum 2013 untuk menggambarkan bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif. Titik tekannya tentu dalam banyak hal dan situasi peserta didik harus lebih aktif daripada guru. Penalaran adalah proses berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-kata empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan.  Penalaran dimaksud merupakan penalaran ilmiah, meski penakaran nonilmiah tidak selalu tidak bermanfaat.
4.      Mencoba
Untuk memperoleh hasil belajar yang nyata atau otentik, peserta didik harus mencoba atau melakukan percobaan, terutama untuk materi atau substansi yang sesuai. Pada mata pelajaran IPA, misalnya,peserta didik harus memahami konsep-konsep IPA dan kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Peserta didik pun harus memiliki keterampilan proses untuk mengembangkan pengetahuan tentang alam sekitar, serta mampu menggunakan metode ilmiah dan bersikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari.
5.      JejaringPembelajaranatauPembelajaranKolaboratifPembelajaran kolaboratif merupakan suatu filsafat personal, lebih dari sekadar sekadar teknik pembelajaran di kelas-kelas sekolah. Kolaborasi esensinya merupakan filsafat interaksi dan gaya hidup manusia yang menempatkan dan memaknaikerjasama sebagai struktur interaksi yang dirancang secara baik dan disengaja rupa untuk memudahkan usaha kolektif dalam rangka mencapai tujuan bersama. Pada pembelajaran kolaboratif kewenangan guru fungsi guru lebih bersifat direktif atau manajer belajar, sebaliknya, peserta didiklah yang harus lebih aktif. Jika  pembelajaran kolaboratif diposisikan sebagai satu falsafah peribadi, maka ia menyentuh tentang identitas peserta didik terutama jika mereka berhubungan atau berinteraksi dengan yang lain atau guru. Dalam situasi kolaboratif itu, peserta didik berinteraksi dengan empati, saling menghormati, dan menerima kekurangan atau kelebihan masing-masing. Dengan cara semacam ini akan tumbuh rasa aman, sehingga memungkin peserta didik menghadapi aneka perubahan dan tntutan belajar secara bersama-sama.

1)      Tahap perkembangan berdasarkan analisis biologis
Sekelompok ahli menentukan penahapan itu berdasarkan keadaan atau proses pertumbuhan tertentu. Pendapat para ahli tersebut diantaranya adalah :
a.      Pendapat Aristoteles
Aristoteles menggambarkan perkembangan anak sejak lahir sampai dewasa itu dalam tiga tahap yang masing-masing lamanya 7 tahun.
Tahap 1         : dari umur 0 sampai 7 masa anak kecil atau bermain.
Tahap 2         : dari 7 sampai 14 masa anak, masa belajar atau sekolah rendah.
Tahap 3         : dari 14 sampai 21 masa remaja atau pubertas, masa peralihan anak  menjadi dewasa.
Penahapan ini berdasarkan pada gejala dalam perkembangan fisik. Hal ini dapat dijelaskan bahwa antara tahap I dan tahap II dibatasi oleh pergantian gigi, antara tahap II dengan tahap III ditandai dengan mulainya befungsi organ-organ seksual.
b.      Pendapat kretschmer
Menurut  pendapat ini manusia dari lahir sampai dewasa melewati empat tahap.
Tahap 1         : dari 0 sampai 3 anak akan kelihatan pendek gemuk.
Tahap 2         : 3 sampai 7 anak kelihatan langsing (meninggi,memanjang).
Tahap 3         : 7 sampai 13 anak kelihatan pendek gemuk kembali.
Tahap 4            : 13 sampai 20 anak kembali kelihatan langsing.
c.       Pendapat Freud
Fase oral           : dari 0 sampai 1 tahun mulut merupakan daerah pokok aktivitas    dinamik.
Fase anal         : dari 1 sampai 3 tahun dorongan dan tahanan terpusat pada fungsi pembuangan kotoran.
Fase falis         : 3 sampai 5 tahun alat-alat kelamin merupakan erogen terpenting
Fase laten        : 5 sampai 12 tahun yaitu impuls-impuls cenderung untuk  ada dalam keadaan mengendap.
Fase pubertas  : 12 sampai 13 dan sampai 20 tahun impuls-impuls menonjol kembali .
Fase genital    : individu yang telah mencapai fase ini tetap siap untuk terjun ke dalam kehidupan masyarakat orang dewasa.
2)      Tahap perkembangan berdasarkan didaksi/intruksion
a)      Pendapat comenius Pendapat ini adalah sebagai berikut:
Dari segi pendidikan yang lengkap bagi seseorang berlangsung dalam empat jenjang yaitu:
·         Sekolah ibu (scola materna) untuk anak-anak umur 0 sampai 6 tahun .
·         Sekolah bahasa ibu (scola vernacula) untuk anak0anak  6 sampai 12 tahun.
·         Sekolah latin (scola latins) untuk remaja 12 sampai 18 tahun.
·         Akademik (academia) 18 sampai 24 tahun.
b)      Pendapat Rousseau
Pentahapan  Reusseau sebagaui berikut:
·         Tahap 1 : 0-2 tahun adalah masa asuhan.
·         Tahap 2 : 2-12 tahun masa pendidikan jasmani dan latihan pancaindera.
·         Tahap 3 : 12-25 tahun pendidikan akal.
·         Tahap 4 : 15-20 pedidikan watak dan pendidikan agama.




    Model Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
 
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning) mengasumsikan bahwa secara natural pikiran mencari makna konteks sesuai dengan situasi nyata lingkungan seseorang melalui pencarian hubungan masuk akal dan bermanfaat. Melalui pemaduan materi yang dipelajari dengan pengalaman keseharian siswa akan menghasilkan dasar-dasar pengetahuan yang mendalam. Siswa akan mampu menggunakan pengetahuannya untuk menyelesaikan masalah-masalah baru dan belum pernah dihadapinya dengan peningkatan pengalaman dan pengetahuannya. Siswa diharapkan dapat membangun pengetahuannya yang akan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan memadukan materi pelajaran yang telah diterimanya di sekolah.
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning)  merupakan satu konsepsi pengajaran dan pembelajaran yang membantu guru mengaitkan bahan subjek yang dipelajari dengan situasi dunia sebenarnya dan memotivasikan pembelajar untuk membuat kaitan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan harian mereka sebagai ahli keluarga, warga masyarakat, dan pekerja.
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning) adalah sebuah sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima, dan mereka menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya (Elaine B. Johnson, 2007:14).
Dalam Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning), ada delapan komponen yang harus ditempuh, yaitu: (1) Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, (2) melakukan pekerjaan yang berarti, (3) melakukan pembelajaran yang diatur sendiri, (4) bekerja sama, (5) berpikir kritis dan kreatif, (6) membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, (7) mencapai standar yang tinggi, dan (8) menggunakan penilaian otentik (Elaine B. Johnson, 2007: 65-66).
Berdasarkan pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning) adalah mempraktikkan konsep belajar yang mengaitkan materi yang dipelajari dengan situasi dunia nyata siswa. Siswa secara bersama-sama membentuk suatu sistem yang memungkinkan mereka melihat makna di dalamnya.
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning)  merupakan konsep belajar yang membantu para guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. Proses pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning)  adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan meraka (Sanjaya, 2005:109).
Dari konsep tersebut ada tiga hal yang harus kita pahami. Pertama, Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning)  menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi. Artinya, proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning)  tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, tetapi yang diutamakan adalah proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.
Kedua, Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning)  mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata. Artinya, siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting sebab dengan dapat mengkorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, materi yang dipelajarinya itu akan bermakna secara fungsional dan tertanam erat dalam memori siswa sehingga tidak akan mudah terlupakan.
Ketiga, Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning)  mendorong siswa untuk dapat menerapkan pengetahuannya dalam kehidupan. Artinya, Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning)  tidak hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, tetapi bagaimana materi itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning) tidak untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, tetapi sebagai bekal bagi mereka dalam kehidupan nyata.
Terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan Kontekstual:
  1. Dalam Pembelajaran Kontekstual/Contextual Teaching Learning pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activing knowledge). Artinya, apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari. Dengan demikian, pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain.
  2. Pembelajaran yang kontekstual adalah pembelajaran dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge).  Pengetahuan baru itu dapat diperoleh dengan cara deduktif. Artinya, pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan kemudian memperhatikan detailnya.
  3. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge) berarti pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal, melainkan untuk dipahami dan diyakini.
  4. Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge). Artinya, pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
  5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan penyempurnaan strategi.
Di sisi lain, Hernowo (2005:93) menawarkan langkah-langkah praktis menggunakan strategi pebelajaran Kontekstual/Contextual Teaching Learning.
  1. Kaitkan setiap mata pelajaran dengan seorang tokoh yang sukses dalam menerapkan mata pelajaran tersebut.
  2. Kisahkan terlebih dahulu riwayat hidup sang tokoh atau temukan cara-cara sukses yang ditempuh sang tokoh dalam menerapkan ilmu yang dimilikinya.
  3. Rumuskan dan tunjukkan manfaat yang jelas dan spesifik kepada anak didik berkaitan dengan ilmu (mata pelajaran) yang diajarkan kepada mereka.
  4. Upayakan agar ilmu-ilmu yang dipelajari di sekolah dapat memotivasi anak didik untuk mengulang dan mengaitkannya dengan kehidupan keseharian mereka.
  5. Berikan kebebasan kepada setiap anak didik untuk mengkonstruksi ilmu yang diterimanya secara subjektif sehingga anak didik dapat menemukan sendiri cara belajar alamiah yang cocok dengan dirinya.
  6. Galilah kekayaan emosi yang ada pada diri setiap anak didik dan biarkan mereka mengekspresikannya dengan bebas.
  7. Bimbing mereka untuk menggunakan emosi dalam setiap pembelajaran sehingga anak didik penuh arti (tidak sia-sia dalam belajar di sekolah).

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.
Free Website templatesfreethemes4all.comLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesFree Soccer VideosFree Wordpress ThemesFree Web Templates