MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA KURIKULUM 2013
1.
Model
Pembelajaran Langsung (Direct Instruction)
Proses pembelajaran langsung adalah proses
pendidikan di mana peserta didik mengembangkan pengetahuan, kemampuan berpikir
dan keterampilan psikomotorik melalui interaksi langsung dengan sumber belajar
yang dirancang dalam silabus dan RPP berupa kegiatan-kegiatan pembelajaran.
Dalam pembelajaran langsung tersebut peserta didik melakukan kegiatan belajar
mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi atau menganalisis, dan
mengkomunikasikan apa yang sudah ditemukannya dalam kegiatan analisis. Proses
pembelajaran langsung menghasilkan pengetahuan dan keterampilan langsung atau
yang disebut dengan instructional effect.
Pembelajaran langsung berkenaan dengan
pembelajaran yang menyangkut KD yang dikembangkan dari KI-3 dan KI-4. Keduanya,
dikembangkan secara bersamaan dalam suatu proses pembelajaran dan menjadi
wahana untuk mengembangkan KD pada KI-1 dan KI-2. Pembelajaran tidak langsung
berkenaan dengan pembelajaran yang menyangkut KD yang dikembangkan dari KI-1
dan KI-2.
Proses pembelajaran terdiri atas lima
pengalaman belajar pokok yaitu:
1)
Mengamati
2)
Menanya
3)
Mengumpulkan informasi
4)
Mengasosiasi
5)
Mengkomunikasikan
Kelima pembelajaran pokok tersebut dapat dirinci dalam berbagai
kegiatan belajar sebagaimana tercantum dalam tabel berikut:
Tabel 1: Keterkaitan antara Langkah
Pembelajaran dengan Kegiatan Belajar dan Maknanya.
Langkah
Pembelajaran
|
Kegiatan
Belajar
|
Kompetensi
yang Dikembangkan
|
Mengamati
|
Membaca, mendengar,
menyimak, melihat (tanpa atau dengan alat).
|
Melatih kesungguhan,
ketelitian, mencari informasi.
|
Menanya
|
Mengajukan
pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau
pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati (dimulai
dari pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang bersifat hipotetik).
|
Mengembangkan
kreativitas, rasa ingin tahu, kemampuan merumuskan pertanyaan untuk membentuk
pikiran kritis yang perlu untuk hidup cerdas dan belajar sepanjang hayat.
|
Mengumpulkan
informasi/eksperimen
|
· Melakukan
eksperimen
· Membaca
sumber lain selain buku teks
· Mengamati
objek/kejadian/aktivitas
· Wawancara
dengan nara sumber
|
Mengembangkan
sikap teliti, jujur, sopan, menghargai pendapat orang lain, kemampuan
berkomunikasi, menerapkan kemampuan mengumpulkan informasi melalui berbagai
cara yang dipelajari, mengembangkan kebiasaan belajar dan belajar sepanjang
hayat.
|
Mengasosiasikan/mengolah
informasi
|
· Mengolah
informasi yang sudah dikumpulkan baik terbatas dari hasil kegiatan
mengumpulkan/eksperimen mau pun hasil dari kegiatan mengamati dan kegiatan
mengumpulkan informasi.
· Pengolahan
informasi yang dikumpulkan dari yang
bersifat menambah keluasan dan kedalaman sampai kepada pengolahan informasi
yang bersifat mencari solusi dari berbagai sumber yang memiliki pendapat yang
berbeda sampai kepada yang bertentangan.
|
Mengembangkan
sikap jujur, teliti, disiplin, taat aturan, kerja keras, kemampuan menerapkan
prosedur dan kemampuan berpikir induktif serta deduktif dalam menyimpulkan.
|
Mengkomunikasikan
|
Menyampaikan
hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan,
tertulis, atau media lainnya.
|
Mengembangkan
sikap jujur, teliti, toleransi, kemampuan berpikir sistematis, mengungkapkan
pendapat dengan singkat dan jelas, dan mengembangkan kemampuan berbahasa yang
baik dan benar.
|
Ciri-ciri model pembelajaran langsung
antara lain:
1) Adanya
tujuan pembelajaran dan prosedur penilaian hasil belajar
2) Sintaks
atau pola keseluruhan dan alur kegiatan pembelajaran
3) Sistem
pengelolaan dan lingkungan belajar yang mendukung berlangsung dan berhasilnya
pengajaran
Sintaks kegiatan pembelajaran langsung
Fase
|
Indikator
|
Peran Guru
|
1
|
Menyampaikan tujuan
dan mempersiapkan siswa.
|
Menjelaskan tujuan,
materi prasyarat, memotivasi dan mempersiapkan siswa.
|
2
|
Mendemonstrasikan pengetahuan dan
ketrampilan.
|
Mendemonstrasikan
ketrampilan atau menyajika informasi tahap demi tahap.
|
3
|
Membimbing pelatihan.
|
Memberikan latihan terbimbing.
|
4
|
Mengecek pemahaman
dan memberikan umpan balik.
|
Mengecek kamampuan
siswa dan memberi kan umpan balik.
|
5
|
Memberikan latihan
dan penerapan konsep.
|
Mempersiapkan latihan
untuk siswa dengan menerapkan konsep yang dipelajari pada kehidupan
sehari-hari.
|
2. Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative
Learning)
Model
pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga
tujuan penting pembelajaran, yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap
keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial (Ibrahim, dkk, 2000:7).
Pembelajaran
kooperatif adalah pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok, siswa dalam
satu kelas dijadikan kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4 sampai 5 orang
untuk memahami konsep yang difasilitasi oleh guru. Model pembelajaran
kooperatif adalah model pembelajaran dengan setting kelompok-kelompok kecil
dengan memperhatikan keberagaman anggota kelompok sebagai wadah siswa untuk
bekerjasama dan memecahkan suatu masalah melalui interaksi sosial dengan teman
sebayanya, memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mempelajari sesuatu
dengan baik pada waktu yang bersamaan dan ia menjadi narasumber bagi teman yang
lain.
Model
Pembelajaran Kooperatif, dibatasi sebagai lingkungan belajar dimana siswa
bekerja sama dalam suatu kelompok kecil yang kemampuannya berbeda-beda untuk
menyelesaikan tugas-tugas akademik. Pembelajaran kooperatif dapat diartikan
sebagai model pembelajaran yang menekankan pada keaktifan siswa dalam kelompok
kecil, mempelajari materi pelajaran dan mengerjakan tugas.
Model
pembelajaran ini memanfaatkan bantuan siswa lain untuk meningkatkan pemahaman
dan penguasaan bahan pelajaran, karena terkadang siswa lebih paham akan hal
yang disampaikan temannya daripada guru serta bahasa yang digunakan siswa
kadang lebih mudah dipahami oleh siswa lainnya. Tujuan dibentuknya kelompok
kooperatif adalah memberikan kesempatan kepada siswa agar dapat terlibat secara
aktif dalam proses berfikir dalam kegiatan belajar. Kelompok siswa tersebut
harus saling bekerja sama dalam menyelesaikan tugas kelompoknya. Dengan
demikian model pembelajaran kooperatif lebih dari sekedar bekerja dalam
kelompok. (Slavin, 2008: 113).
Ø Jenis-Jenis
Model Pembelajaran Kooperatif
Menurut
Slavin (2008: 11), model pembelajaran kooperatif terdiri atas lima jenis atau tipe.
Secara ringkas kelima model pembelajaran kooperatif tersebut dijelaskan sebagai
berikut :
1)
Student Teams Achievement Division
(STAD)
Tipe ini lebih menekankan pada
interaksi dan aktivitas diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling
membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai hasil yang maksimal.
2)
Teams Game Tournament (TGT)
Model ini hampir sama dengan model
STAD tetapi menggantikan kuis dengan tornamen mingguan, dimana antar kelompok
memainkan game untuk menentukan skor kelompok mereka. Teman satu tim akan
saling membantu dalam mempersiapkan diri untuk permainan dengan mempelajari
lembar kegiatan dan menjelaskan masalah-masalah satu sama lain.
3)
Group Investigation
Dalam model ini siswa dibagi
menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari 4-5 siswa, pembagian kelompok dapat
dibentuk berdasarkan perkawanan atau berdasarkan keterkaitan akan sebuah materi
tanpa melanggar ciri-ciri cooperative learning. Pada model ini siswa diberi sub
topik yang ingin mereka pelajari dan topic yang biasanya telah ditentukan guru,
setelah itu guru dan siswa merumuskan tujuan, langkah-langkah belajar
berdasarkan sub topik dan materi yang dipilih.
4)
Jigsaw
Merupakan salah satu tipe pembelajaran yang
mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran
untuk mencapai prestasi yang maksimal. Dalam model ini terdapat tahap-tahap
dalam menyelenggarakannya, yaitu pembentukan kelompok-kelompok kecil yang
dilakukan oleh guru berdasarkan pertimbangan tertentu.
Sedangkan
dua pendekatan lain yang dirancang untuk kelas-kelas rendah adalah :
1)
Team Assited Individualization (TAI)
Digunakan pada pembelajaran
matematika untuk tingkat 3-6 (setingkat TK). Dalam model ini para siswa
memasuki sekuen individual berdasarkan tes penempatan dan kemudian melanjutkan
dengan tingkat kemaampuannya sendiri. Secara umum, anggota kelompokm bekerja
dengan unit pelajaran berbeda. Teman satu tim saling memeriksa hasil kerja
masing-masing menggunakan lembar jawaban dan saling membantu dalam
menyelesaikan masalah.
2)
Cooperative Integrated Reading and
Composition (CIRC)
Digunakan pada
pembelajaran membaca dan menulis pada tingkatan 2-8 (setingkat TK sampai
SD). dalam model ini siswa lebih banyak
mengikuti serangkaian pengajaran guru, para-penilaian tim, dan kuis.
Penghargaan untuk tim dan sertifikat akan diberikan kepada tim berdasarkan
kinerja rata-rata dari semua anggota tim dalam semua kegiatan
Ø Model
pembelajaran kooperatif ditandai dengan adanya struktur tugas, struktur tujuan,
dan struktur penghargaan (Arends, 1997: 110-111) :
a. Struktur
tugas mengacu pada cara pengaturan pembelajaran dan jenis kegiatan siswa dalam
kelas.
b. Struktur
tujuan, yaitu sejumlah kebutuhan yang ingin dicapai oleh siswa dan guru pada
akhir pembelajaran atau saat siswa menyelesaikan pekerjaannya.
Ada tiga macam struktur tujuan, yaitu:
1. Struktur
tujuan individualistik
2. Struktur
tujuan kompetitif
3. Struktur
tujuan kooperatif
c. Struktur
penghargaan kooperatif, yaitu penghargaan yang diberikan pada kelompok jika keberhasilan kelompok sebagai akibat
keberhasilan bersama anggota kelompok.
Ø Ciri-ciri
model pembelajaran kooperatif antara lain:
1)
Untuk menuntaskan materi belajar, siswa
belajar dalam kelompok secara kooperatif.
2)
Kelompok dibentuk dari siswa-siswa yang
memiliki kemampuan heterogen.
3)
Jika dalam kelas terdiri dari beberapa
ras, suku, budaya, jenis kelamin yang berbeda, maka diupayakan agar tiap
kelompok berbaur.
4)
Penghargaan lebih diutamakan pada kerja
kelompok daripada perorangan.
Ø Tujuan
:
1)
Hasil Belajar Akademik
Meningkatkan
kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik
2)
Penerimaan terhadap keragaman
Siswa
dapat menerima teman-temannya yang beraneka latar belakang
3)
Pengembangan ketrampilan sosial
Sintaks
kegiatan pembelajaran kooperatif
Fase
|
Indikator
|
Kegiatan
Guru
|
1
|
Menyampaikan tujuan
dan memotivasi siswa
|
Menyampaikan tujuan
pelajaran yang ingin dicapai dan memotivasi siswa belajar
|
2
|
Menyajikan informasi
|
Menyajikan informasi
kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau
lewat bahan bacaan
|
3
|
Mengorganisasikan
siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar
|
Menjelaskan kepada
siswa bagaimana caranya membentuk kelompok dan membantu kelompok agar
melakukan transisi secara efisien
|
4
|
Membimbing kelompok
bekerja dan belajar
|
Membimbing
kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas
|
5
|
Evaluasi
|
Mengevaluasi hasil
belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok
mempresentasikan hasil kerjanya
|
6
|
Memberikan
penghargaan
|
Mencari cara untuk
menghargai upaya atau hasil belajar individu maupun kelompok
|
3. Model Pembelajaran Kontekstual
(Contextual Teaching and Learning)
Pembelajaran
Kontekstual (Contextual Teaching Learning) mengasumsikan bahwa secara natural
pikiran mencari makna konteks sesuai dengan situasi nyata lingkungan seseorang
melalui pencarian hubungan masuk akal dan bermanfaat. Melalui pemaduan materi
yang dipelajari dengan pengalaman keseharian siswa akan menghasilkan
dasar-dasar pengetahuan yang mendalam. Siswa akan mampu menggunakan
pengetahuannya untuk menyelesaikan masalah-masalah baru dan belum pernah
dihadapinya dengan peningkatan pengalaman dan pengetahuannya. Siswa diharapkan
dapat membangun pengetahuannya yang akan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
dengan memadukan materi pelajaran yang telah diterimanya di sekolah.
Pembelajaran
Kontekstual (Contextual Teaching Learning)
merupakan satu konsepsi pengajaran dan pembelajaran yang membantu guru
mengaitkan bahan subjek yang dipelajari dengan situasi dunia sebenarnya dan
memotivasikan pembelajar untuk membuat kaitan antara pengetahuan dan
aplikasinya dalam kehidupan harian mereka sebagai ahli keluarga, warga
masyarakat, dan pekerja.
Pembelajaran Kontekstual
(Contextual Teaching Learning) adalah sebuah sistem belajar yang didasarkan
pada filosofi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap
makna dalam materi akademis yang mereka terima, dan mereka menangkap makna
dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengaitkan informasi baru dengan
pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya (Elaine B.
Johnson, 2007:14).
Dalam Pembelajaran Kontekstual
(Contextual Teaching Learning), ada delapan komponen yang harus ditempuh,
yaitu:
1) Membuat
keterkaitan-keterkaitan yang bermakna
2) Melakukan
pekerjaan yang berarti
3) Melakukan
pembelajaran yang diatur sendiri
4) Bekerja
sama
5) Berpikir
kritis dan kreatif
6) Membantu
individu untuk tumbuh dan berkembang
7) Mencapai
standar yang tinggi
8) Menggunakan
penilaian otentik (Elaine B. Johnson, 2007: 65-66)
Berdasarkan
pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa Pembelajaran Kontekstual (Contextual
Teaching Learning) adalah mempraktikkan konsep belajar yang mengaitkan materi
yang dipelajari dengan situasi dunia nyata siswa. Siswa secara bersama-sama
membentuk suatu sistem yang memungkinkan mereka melihat makna di dalamnya.
Pembelajaran
Kontekstual (Contextual Teaching Learning)
merupakan konsep belajar yang membantu para guru mengaitkan antara materi
yang diajarkannya dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu,
hasil pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan
mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. Proses
pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
Pembelajaran
Kontekstual (Contextual Teaching Learning) adalah suatu pendekatan pembelajaran
yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat
menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan
nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan meraka
(Sanjaya, 2005:109).
Dari
konsep tersebut ada tiga hal yang harus kita pahami:
ü Pertama,
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning) menekankan kepada proses keterlibatan siswa
untuk menemukan materi.
Artinya, proses belajar diorientasikan pada proses
pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks Pembelajaran
Kontekstual (Contextual Teaching Learning)
tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, tetapi yang
diutamakan adalah proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.
ü Kedua,
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning) mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan
antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata.
Artinya, siswa dituntut untuk dapat menangkap
hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini
sangat penting sebab dengan dapat mengkorelasikan materi yang ditemukan dengan
kehidupan nyata, materi yang dipelajarinya itu akan bermakna secara fungsional
dan tertanam erat dalam memori siswa sehingga tidak akan mudah terlupakan.
ü Ketiga,
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning) mendorong siswa untuk
dapat menerapkan pengetahuannya dalam kehidupan.
Artinya, Pembelajaran Kontekstual (Contextual
Teaching Learning) tidak hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang
dipelajarinya, tetapi bagaimana materi itu dapat mewarnai perilakunya dalam
kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks Pembelajaran Kontekstual
(Contextual Teaching Learning) tidak untuk ditumpuk di otak dan kemudian
dilupakan, tetapi sebagai bekal bagi mereka dalam kehidupan nyata.
Terdapat
lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan
pendekatan Kontekstual:
1) Dalam
Pembelajaran Kontekstual/Contextual Teaching Learning pembelajaran merupakan
proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activing knowledge).
Artinya, apa yang akan dipelajari tidak terlepas
dari pengetahuan yang sudah dipelajari. Dengan demikian, pengetahuan yang akan
diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu
sama lain.
2) Pembelajaran
yang kontekstual adalah pembelajaran dalam rangka memperoleh dan menambah
pengetahuan baru (acquiring knowledge).
Pengetahuan baru itu dapat diperoleh dengan cara deduktif. Artinya,
pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan kemudian
memperhatikan detailnya.
3) Pemahaman
pengetahuan (understanding knowledge) berarti pengetahuan yang diperoleh bukan
untuk dihafal, melainkan untuk dipahami dan diyakini.
4) Mempraktikkan
pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge). Artinya, pengetahuan
dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan
nyata.
5) Melakukan
refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal
ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan penyempurnaan
strategi.
Di sisi
lain, Hernowo (2005:93) menawarkan langkah-langkah praktis menggunakan strategi
pebelajaran Kontekstual/Contextual Teaching Learning :
1) Kaitkan
setiap mata pelajaran dengan seorang tokoh yang sukses dalam menerapkan mata
pelajaran tersebut.
2) Kisahkan
terlebih dahulu riwayat hidup sang tokoh atau temukan cara-cara sukses yang
ditempuh sang tokoh dalam menerapkan ilmu yang dimilikinya.
3) Rumuskan
dan tunjukkan manfaat yang jelas dan spesifik kepada anak didik berkaitan
dengan ilmu (mata pelajaran) yang diajarkan kepada mereka.
4) Upayakan
agar ilmu-ilmu yang dipelajari di sekolah dapat memotivasi anak didik untuk
mengulang dan mengaitkannya dengan kehidupan keseharian mereka.
5) Berikan
kebebasan kepada setiap anak didik untuk mengkonstruksi ilmu yang diterimanya
secara subjektif sehingga anak didik dapat menemukan sendiri cara belajar
alamiah yang cocok dengan dirinya.
6) Galilah
kekayaan emosi yang ada pada diri setiap anak didik dan biarkan mereka
mengekspresikannya dengan bebas.
7) Bimbing
mereka untuk menggunakan emosi dalam setiap pembelajaran sehingga anak didik
penuh arti (tidak sia-sia dalam belajar di sekolah).
4.
Model
Pembelajaran Penemuan Terbimbing (Discovery Learning)
Discovery
Learning adalah proses belajar yang di dalamnya tidak disajikan suatu konsep
dalam bentuk jadi (final), tetapi siswa dituntut untuk mengorganisasi sendiri cara belajarnya dalam menemukan konsep.
Sebagaimana pendapat Bruner, bahwa: “Discovery
Learning can be defined as the learning that takes place when the student is
not presented with subject matter in the final form, but rather is required to
organize it him self” (Lefancois dalam Emetembun, 1986:103). Dasar ide
Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan
aktif dalam belajar di kelas.
Bruner
memakai metode yang disebutnya Discovery Learning, di mana murid mengorganisasi
bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir (Dalyono, 1996:41). Metode
Discovery Learning adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses
intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (Budiningsih, 2005:43).
Discovery terjadi bila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses
mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip. Discovery dilakukan
melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan dan inferi.
Proses tersebut disebut cognitive process sedangkan discovery itu sendiri
adalah the mental process of assimilatig conceps and principles in the mind
(Robert B. Sund dalam Malik, 2001:219).
Dalam
Konsep Belajar, sesungguhnya metode Discovery Learning merupakan pembentukan
kategori-kategori atau konsep-konsep, yang dapat memungkinkan terjadinya
generalisasi. Sebagaimana teori Bruner tentang kategorisasi yang nampak dalam
Discovery, bahwa Discovery adalah pembentukan kategori-kategori, atau lebih
sering disebut sistem-sistem coding. Pembentukan kategori-kategori dan
sistem-sistem coding dirumuskan demikian dalam arti relasi-relasi (similaritas
& difference) yang terjadi diantara obyek-obyek dan kejadian-kejadian (events).
Bruner
memandang bahwa suatu konsep atau kategorisasi memiliki lima unsur, dan siswa
dikatakan memahami suatu konsep apabila mengetahui semua unsur dari konsep itu,
meliputi, (Budiningsih, 2005:43) :
1) Nama
2) Contoh-contoh
baik yang positif maupun yang negatif
3) Karakteristik,
baik yang pokok maupun tidak
4) Rentangan
karakteristik
5) Kaidah
Bruner
menjelaskan bahwa pembentukan konsep merupakan dua kegiatan mengkategori yang
berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda pula. Seluruh kegiatan
mengkategori meliputi mengidentifikasi dan menempatkan contoh-contoh
(obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa) ke dalam kelas dengan menggunakan dasar
kriteria tertentu.
Di dalam
proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa, dan
mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk menunjang proses belajar
perlu lingkungan memfasilitasi rasa ingin tahu siswa pada tahap eksplorasi.
Lingkungan ini dinamakan Discovery Learning Environment, yaitu lingkungan
dimana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang belum
dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui. Lingkungan
seperti ini bertujuan agar siswa dalam proses belajar dapat berjalan dengan
baik dan lebih kreatif.
Untuk
memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus berdasarkan pada
manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa.
Manipulasi bahan pelajaran bertujuan untuk memfasilitasi kemampuan siswa dalam
berpikir (merepresentasikan apa yang dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Menurut
Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang
ditentukan oleh bagaimana cara lingkungan, yaitu:
§ Enactive
Tahap enactive,
seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan
sekitarnya, artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan
pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan
sebagainya.
§ Iconic
Tahap
iconic, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan
visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar
melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi).
§ Symbolic
Tahap
symbolic, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak
yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam
memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika,
matematika, dan sebagainya.
Komunikasinya
dilakukan dengan menggunakan banyak simbol. Semakin matang seseorang dalam
proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Secara sederhana teori
perkembangan dalam fase enactive, iconic dan symbolic adalah anak menjelaskan
sesuatu melalui perbuatan (ia bergeser ke depan atau kebelakang di papan mainan
untuk menyesuaikan beratnya dengan berat temannya bermain) ini fase enactive.
Kemudian pada fase iconic ia menjelaskan keseimbangan pada gambar atau bagan
dan akhirnya ia menggunakan bahasa untuk menjelaskan prinsip keseimbangan ini
fase symbolic (Syaodih, 85:2001).
Dalam
mengaplikasikan metode Discovery Learning guru berperan sebagai pembimbing
dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif,
sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan
belajar siswa sesuai dengan tujuan (Sardiman, 2005:145). Kondisi seperti ini
ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student
oriented.
Hal yang
menarik dalam pendapat Bruner yang menyebutkan: “hendaknya guru harus memberikan kesempatan muridnya untuk menjadi
seorang problem solver, seorang scientis, historin, atau ahli matematika”.
Dalam metode Discovery Learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir,
siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi,
membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan,
mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan-kesimpulan.
Langkah-langkah
model pembelajaran penemuan terbimbing (discovery learning) adalah sebagai
berikut :
a. Merumuskan
masalah yang akan diberikan kepada siswa dengan data secukupnya. Perumusaannya
harus jelas dan hilangkan pernyataan yang multi tafsir.
b. Berdasarkan
data yang diberikan guru, siswa menyusun, memproses, mengorganisir, dan
menganlisis data tersebut. Dalam hal ini bimbingan guru dapat diberikan sejauh
yang diperlukan saja bimbingan lebih mengarah kepada langkah yang hendak
dituju, melalui pertanyaan-pertanyaan.
c. Siswa
menyusun prakiraan dari hasil analisis yang dilakukannya.
d. Bila
dipandang perlu, prakiraan yang telah dibuat siswa tersebut hendaknya diperiksa
oleh guru. Hal ini penting dilakukan untuk meyakinkan kebenaran prakiraan
siswa, sehingga akan menuju arah yang hendak dicapai.
e. Apabila
telah diperoleh kepastian tentang kebenaran prakiraan tersebut, maka
verbalisasi prakiraan sebaiknya disrahkan juga kepada siswa untuk menyusunnya.
Disamping itu perlu diingat pula bahwa induksi tidak menjamin 100% kebenaran
prakiraan.
f. Sesudah
siswa menemukan apa yang dicari, hendaknya guru menyediakan soal latihan atau
soal tambahan untuk memeriksa apakah hasil penemuan itu benar.
Manfaat
metode Discovery Learning :
·
Membantu siswa untuk memperbaiki dan
meningkatkan keterampilan-keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha
penemuan merupakan kunci dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara
belajarnya.
·
Pengetahuan yang diperoleh melalui metode
ini sangat pribadi dan ampuh karena menguatkan pengertian, ingatan dan
transfer.
·
Menimbulkan rasa senang pada siswa,
karena tumbuhnya rasa menyelidiki dan berhasil.
·
Model pembelajaran ini memungkinkan
siswa berkembang dengan cepat dan sesuai dengan kecepatannya sendiri.
·
Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan
belajarnya sendiri dengan melibatkan akalnya dan motivasi sendiri.
·
Model pembelajaran discovery learning
ini dapat membantu siswa memperkuat konsep dirinya, karena memperoleh
kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.
·
Berpusat pada siswa dan guru berperan
sama-sama aktif mengeluarkan gagasan-gagasan. Bahkan gurupun dapat bertindak
sebagai siswa, dan sebagai peneliti di dalam situasi diskusi.
·
Membantu siswa menghilangkan skeptisme
(keragu-raguan) karena mengarah pada
kebenaran yang final dan tertentu atau pasti.
·
Siswa akan mengerti konsep dasar dan
ide-ide lebih baik.
·
Membantu dan mengembangkan ingatan dan
transfer kepada situasi proses belajar
yang baru.
·
Mendorong siswa berfikir dan bekerja
atas inisiatif sendiri.
·
Mendorong siswa berfikir intuisi dan
merumuskan hipotesis sendiri.
·
Memberikan keputusan yang bersifat
intrinsik; Situasi proses belajar menjadi lebih terangsang.
·
Proses belajar meliputi sesama aspeknya
siswa menuju pada pembentukan manusia
seutuhnya.
·
Meningkatkan tingkat penghargaan pada
siswa.
·
Kemungkinan siswa belajar dengan
memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar.
·
Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan
individu.
Model
pembelajaran discovery learning ini menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan
pikiran untuk belajar. Bagi siswa yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan
abstrak atau berfikir atau mengungkapkan hubungan antara konsep-konsep, yang
tertulis atau lisan, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan frustasi.
Model
pembelajaran discovery learning ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa
yang banyak, karena membutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan
teori atau pemecahan masalah lainnya.
Harapan-harapan
yang terkandung dalam metode ini dapat buyar berhadapan dengan siswa dan guru
yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar yang lama.
Model
pembelajaran discovery learning lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman,
sedangkan mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara keseluruhan
kurang mendapat perhatian.
Pada
beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk mengukur
gagasan yang dikemukakan oleh para
siswa. Model pembelajaran discovery learning tidak menyediakan
kesempatan-kesempatan untuk berfikir yang akan ditemukan oleh siswa karena
telah dipilih terlebih dahulu oleh guru.
5.
Model
Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
Pembelajaran
Berbasis Masalah (PBM) atau Problem Based Learning (PBL) adalah kurikulum dan
proses pembelajaran. Dalam kurikulumnya, dirancang masalah-masalah yang
menuntut peserta didik mendapat pengetahuan penting, yang membuat mereka mahir
dalam memecahkan masalah, dan memiliki model belajar sendiri serta memiliki
kecakapan berpartisipasi dalam tim. Proses pembelajarannya menggunakan
pendekatan yang sistemik untuk memecahkan masalah atau menghadapi tantangan
yang nanti diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran
berbasis masalah merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang menyajikan
masalah kontekstual sehingga merangsang peserta didik untuk belajar. Dalam
kelas yang menerapkan pembelajaran berbasis masalah, peserta didik bekerja
dalam tim untuk memecahkan masalah dunia nyata (real world).
Pembelajaran
berbasis masalah merupakan suatu model pembelajaran yang menantang peserta
didik untuk “belajar bagaimana belajar”, bekerja secara berkelompok untuk
mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Masalah yang diberikan ini
digunakan untuk mengikat peserta didik pada rasa ingin tahu pada pembelajaran
yang dimaksud. Masalah diberikan kepada peserta didik, sebelum peserta didik
mempelajari konsep atau materi yang berkenaan dengan masalah yang harus
dipecahkan.
Model
pembelajaran berbasis masalah adalah pendekatan pembelajaran yang menggunakan
masalah sebagai langkah awal untuk mendapatkan pengetahuan baru. Seperti yang
diungkapkan oleh Suyatno (2009 : 58) bahwa :
”Model
pembelajaran berdasarkan masalah adalah proses pembelajaran yang titik awal
pembelajaran dimulai berdasarkan masalah dalam kehidupan nyata siswa dirangsang
untuk mempelajari masalah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman telah mereka
miliki sebelumnya (prior knowledge) untuk membentuk pengetahuan dan pengalaman
baru”.
Sedangkan
menurut Arends (dalam Trianto 2007 : 68) menyatakan bahwa:
”Model
pembelajaran berdasarkan masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran di
mana siswa mengerjakan permasalahan yang autentik dengan maksud untuk menyusun
pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir
tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri”.
Model
pembelajaran berdasarkan masalah juga mengacu pada model pembelajaran yang lain
seperti yang diungkapkan oleh diungkapkan oleh Trianto (2007 : 68) :
”Model
pembelajaran berdasarkan masalah) mengacu pada Pembelajaran Proyek (Project
Based Learning), Pendidikan Berdasarkan Pengalaman (Experience Based
Education), Belajar Autentik (Autentic
Learning), Pembelajaran Bermakna (Anchored Instruction)”.
Berbagai
pengembang menyatakan bahwa ciri
utama model pembelajaran berdasarkan
masalah ini dalam Trianto (2007 : 68) adalah :
a. Pengajuan
pertanyaan atau masalah.
Guru
memunculkan pertanyaan yang nyata di lingkungan siswa serta dapat diselidiki
oleh siswa kepada masalah yang autentik ini dapat berupa cerita, penyajian
fenomena tertentu, atau mendemontrasikan suatu kejadian yang mengundang
munculnya permasalahan atau pertanyaan.
b. Berfokus
pada keterkaitan antar disiplin.
Meskipun
pembelajaran berdasarkan masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu
(IPA, matematika, ilmu-ilmu sosial) masalah yang dipilih benar-benar nyata agar
dalam pemecahannya, siswa dapat meninjau dari berbagi mata pelajaran yang lain.
c. Penyelidikan
autentik.
Pembelajaran
berdasarkan masalah mengharuskan siswa melakukan penyelidikan autentik untuk
mencari penyelesaian nyata terhadap masalah yang disajikan. Metode penyelidikan
ini bergantung pada masalah yang sedang dipelajari.
d. Menghasilkan
produk atau karya.
Pembelajaran
berdasarkan masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam
bentuk karya dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian
masalah yang mereka temukan. Produk itu dapat juga berupa laporan, model fisik,
video maupun program komputer.
e. Kolaborasi.
Pembelajaran
berdasarkan masalah dicirikan oleh siswa yang bekerja sama satu dengan yang
lainnya, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil.
Bekerjasama untuk terlibat dan saling bertukar pendapat dalam melakukan
penyelidikan sehingga dapat
menyelesaikan permasalahan yang disajikan.
Pada
Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah terdapat lima tahap utama yang dimulai
dengan memperkenalkan siswa tehadap masalah yang diakhiri dengan tahap
penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Kelima tahapan tersebut disajikan
dalam bentuk tabel (dalam Nurhadi, 2004:111) :
Tabel 2.1
Sintaks Model pembelajaran berdasarkan masalah
Fase
|
Indikator
|
Kegiatan Guru
|
1
|
Orientasi siswa
kepada masalah.
|
Guru menjelaskan
tujuan pembelajaran, menjelaskan logistic yang diperlukan, pengajuan masalah,
memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.
|
2
|
Mengorganisasikan
siswa untuk belajar.
|
Guru membantu siswa
mendefenisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan
masalah tersebut.
|
3
|
Membimbing
penyelidikan individual maupun kelompok.
|
Guru mendorong siswa
untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk
mendapat penjelasan pemecahan masalah.
|
4
|
Mengembangkan dan
menyajikan hasil karya.
|
Guru membantu siswa
dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video,
model dan membantu mereka untuk berbagai tugas dengan kelompoknya.
|
5
|
Menganalisa dan
mengevaluasi proses pemecahan masalah.
|
Guru membantu siswa
melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dalam
proses-proses yang mereka gunakan.
|
6.
Model
Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning)
Pembelajaran
Berbasis Proyek (Project Based Learning/PjBL) adalah metoda pembelajaran yang
menggunakan proyek/kegiatan sebagai media. Peserta didik melakukan eksplorasi,
penilaian, interpretasi, sintesis, dan informasi untuk menghasilkan berbagai
bentuk hasil belajar.
Pembelajaran
Berbasis Proyek merupakan metode belajar yang menggunakan masalah sebagai
langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru
berdasarkan pengalamannya dalam beraktifitas secara nyata. Pembelajaran
Berbasis Proyek dirancang untuk digunakan pada permasalahan komplek yang
diperlukan peserta didik dalam melakukan insvestigasi dan memahaminya.
Melalui
PjBL, proses inquiry dimulai dengan memunculkan pertanyaan penuntun (aguiding
question) dan membimbing peserta didik dalam sebuah proyek kolaboratif yang
mengintegrasikan berbagai subjek (materi) dalam kurikulum. Pada saat pertanyaan
terjawab, secara langsung peserta didik dapat melihat berbagai elemen utama
sekaligus berbagai prinsip dalam sebuah disiplin yang sedang dikajinya. PjBL
merupakan investigasi mendalam tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan
berharga bagi atensi dan usaha peserta didik.
Mengingat
bahwa masing-masing peserta didik memiliki gaya belajar yang berbeda, maka
Pembelajaran Berbasis Proyek memberikan kesempatan kepada para peserta didik
untuk menggali konten (materi) dengan menggunakan berbagai cara yang bermakna
bagi dirinya, dan melakukan eksperimen secara kolaboratif. Pembelajaran
Berbasis Proyek merupakan investigasi mendalam tentang sebuah topik dunia
nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha peserta didik.
Pembelajaran
Berbasis Proyek dapat dikatakan sebagai operasionalisasi konsep “Pendidikan
Berbasis Produksi” yang dikembangkan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). SMK
sebagai institusi yang berfungsi untuk menyiapkan lulusan untuk bekerja di
dunia usaha dan industri harus dapat membekali peserta didiknya dengan
“kompetensi terstandar” yang dibutuhkan untuk bekerja dibidang masing-masing.
Dengan pembelajaran “berbasis produksi” peserta didik di SMK diperkenalkan
dengan suasana dan makna kerja yang sesungguhnya di dunia kerja. Dengan
demikian model pembelajaran yang cocok untuk SMK adalah pembelajaran berbasis
proyek.
Ada lima
Kriteria apakah suatu pembelajaran berproyek termasuk pembelajaran berbasis
proyek, lima kriteria itu yaitu :
1) Keterpusatan
(centrality)
Proyek
dalam pembelajaran berbasis proyek adalah pusat atau inti kurikulum, bukan
pelengkap kurikulum, di dalam pembelajaran proyek adalah strategi pembelajaran,
pelajaran mengalami dan belajar konsep-konsep inti suatu disiplin ilmu melalui
proyek. Model ini merupakan pusat strategi pembelajaran, dimana siswa belajar
konsep utama dari suatu pengetahuan melalui kerja proyek. Oleh karena itu,
kerja proyek bukan merupakan praktik tambahan dan aplikasi praktis dari konsep
yang sedang dipelajari, melainkan menjadi sentral kegiatan pembelajaran
dikelas.
2) Berfokus
pada pertanyaan atau masalah
Proyek
dalam PBL adalah berfokus pada pertanyaan atau masalah, yang mendorong pelajar
menjalani (dalam kerja keras) konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti atau pokok
dari disiplin.
3) Investigasi
konstruktif atau desain
Proyek
melibatkan pelajaran dalam investigasi konstruktif dapat berupa desain, pengambilan
keputusan, penemuan masalah, pemecahan masalah, deskoveri akan tetapi aktifitas
inti dari proyek ini harus meliputi transformasi dan kontruksi pengetahuan.
4) Bersifat
otonomi pembelajaran
Lebih
mengutamakan otonomi, pilihan waktu kerja dan tanggung jawab pelajaran terhadap
proyek.
5) Bersifat
realisme
Pembelajaran
berebasis proyek melibatkan tantangan kehidupan nyata, berfokus pada
pertanyaanatau masalah autentik bukan simulative dan pemecahannya berpotensi
untuk diterapkan dilapangan yang sesungguhnya.
Pembelajaran
Berbasis Proyek (Project Based Learning/PjBL)memiliki karakteristik sebagai
berikut :
1) Peserta
didik membuat keputusan tentang sebuah kerangka kerja
2) Adanya
permasalahan atau tantangan yang diajukan kepada peserta didik
3) Peserta
didik mendesain proses untuk menentukan solusi atas permasalahan atau tantangan
yang diajukan
4) Peserta
didik secara kolaboratif bertanggungjawab untuk mengakses dan mengelola
informasi untuk memecahkan permasalahan
5) Proses
evaluasi dijalankan secara kontinyu
6) Peserta
didik secara berkala melakukan refleksi atas aktivitas yang sudah dijalankan
7) Produk
akhir aktivitas belajar akan dievaluasi secara kualitatif
8) Situasi
pembelajaran sangat toleran terhadap kesalahan dan perubahan.
Peran
instruktur atau guru dalam Pembelajaran Berbasis Proyek sebaiknya sebagai
fasilitator, pelatih, penasehat dan perantara untuk mendapatkan hasil yang
optimal sesuai dengan daya imajinasi, kreasi dan inovasi dari siswa.
Berdasarkan kegiatan pengajar dan pelajar dalam
pendekatan PjBL, maka PjBL yang akan dibuat di dalam lingkungan web terbagi
dalam tiga tahapan yakni persiapan, pembelajaran dan evaluasi, tetapi dari tiga
tahapan tersebut dapat dideskripsikan menjadi enam tahapan sebagai berikut :
a. Persiapan
Pengajar
merancang desain atau membuat kerangka proyek yang bermanfaat dalam menyediakan
informasi yang dibutuhkan oleh pelajar dalam mengembangkan pemikiran terhadap
proyek tersebut sesuai dengan kerangka yang ada, dan menyediakan sumber yang
dapat membantu pengerjaannya. Hal ini akan mendukung keberhasilan pelajar dalam
menyelesaikan suatu proyek dan cukup membantu dalam menjawab pertanyaan,
beraktifitas dan berkarya. Kerangka menjadi sesuatu yang penting untuk dibaca
dan digunakan oleh pelajar. Oleh karenanya, pengajar harus melakukan perannya dengan
baik dalam menganalisa dan mengintegrasikan kurikulum, mengumpulkan pertanyaan,
mencari web site atau sumber yang dapat membantu pelajar dalam menyelesaikan
proyek, dan menyimpannya di dalam web.
b. Penugasan/menentukan
topik.
Sesuai
dengan tugas proyek yang diberikan oleh pengajar maupun pilihan sendiri,
pelajar akan memperoleh dan membaca kerangka proyek, lalu berupaya mencari
sumber yang dapat membantu. Dengan berdasar pada referensi alamat web yang
berisi materi relevan, pelajar dengan cepat dan langsung mendapatkan materi
yang berkualitas yang sesuai dengan kebutuhan proyek. Lalu pelajar berupaya
berpikir dengan kemampuannya berdasar pada pengalaman yang dimiliki, membuat
pemetaan topik, dan mengembangkan gagasannya dalam menentukan sub topik suatu
proyek.
c. Merencanakan
kegiatan.
Pelajar
bekerja dalam proyek individual, kelompok dalam satu kelas atau antar kelas.
Pelajar menentukan kegiatan dan langkah yang akan diambil sesuai dengan sub
topiknya, merencanakan waktu pengerjaan dari semua sub topik dan menyimpannya
di dalam web. Jika bekerja dalam kelompok, tiap anggota harus mengikuti aturan
dan memiliki rasa tanggungjawab. Sedangkan pengajar berkewajiban menyampaikan
isi dari rencana proyeknya kepada orang tua, sehingga orang tua dapat ikut serta
membantu dan mendukung anaknya dalam menyelesaikan proyek.
d. Investigasi
dan penyajian.
Investigasi
disini termasuk kegiatan : menanyakan pada ahlinya melalui e-mail, memeriksa
web site, dan saling tukar pengalaman dan pengetahuan serta melakukan survei
melalui web. Dalam perkembangannya, terkadang berisi observasi, eksperimen, dan
field trips. Diskusi dapat dilakukan secara sinkron dan asinkron melalui
chating. Lalu penyajian hasil dapat berupa gambar, tulisan, diagram matematika,
pemetaan dan lain-lain. Secara rutin, orang tua dan pengajar berkomunikasi
untuk memantau kegiatan dan prestasi yang dicapai oleh pelajar.
e. Finishing
Pelajar
membuat laporan, presentasi, halaman web, gambar, dan lain-lain. Sebagai hasil
dari kegiatannya. Lalu pengajar dan pelajar membuat catatan terhadap proyek
untuk pengembangan selanjutnya. Peserta menerima feedback atas apa yang
dibuatnya dari kelompok, teman, dan pengajar. Fasilitas feedback online
disajikan untuk memungkinkan setiap individu secara langsung berkomentar dan
memberikan kontribusi, dan agar dilihat dan bermanfaat bagi orang lain.
f. Monitoring/Evaluasi.
Pengajar
menilai semua proses pengerjaan proyek yang dilakukan oleh tiap pelajar
berdasar pada partisipasi dan produktifitasnya dalam pengerjaan proyek.
Beberapa
hambatan dalam implementasi metode Pembelajaran Berbasis Proyek antara lain
berikut ini :
a. Pembelajaran
Berbasis Proyek memerlukan banyak waktu yang harus disediakan untuk
menyelesaikan permasalahan yang komplek.
b. Banyak
orang tua peserta didik yang merasa dirugikan, karena menambah biaya untuk
memasuki system baru.
c. Banyak
instruktur merasa nyaman dengan kelas tradisional ,dimana instruktur memegang
peran utama di kelas. Ini merupakan suatu transisi yang sulit, terutama bagi
instruktur yang kurang atau tidak menguasai teknologi.
d. Banyaknya
peralatan yang harus disediakan, sehingga kebutuhan listrik bertambah.
Untuk itu
disarankan menggunakan team teaching dalam proses pembelajaran, dan akan lebih
menarik lagi jika suasana ruang belajar tidak monoton, beberapa contoh
perubahan lay-out ruang kelas, seperti: traditional class (teori), discussion
group (pembuatan konsep dan pembagian tugas kelompok), lab tables (saat
mengerjakan tugas mandiri), circle (presentasi). Atau buatlah suasana belajar
menyenangkan, bahkan saat diskusi dapat dilakukan di taman, artinya belajar
tidak harus dilakukan di dalam ruang kelas.
7.
Model
Pembelajaran Inquiry
Pembelajaran
berdasarkan inquiry merupakan seni penciptaan situasi-situasi sedemikian rupa
sehingga siswa mengambil peran sebagai ilmuwan. Dalam situasi-situasi ini siswa
berinisiatif untuk mengamati dan menanyakan gejala alam, mengajukan
penjelasan-penjelasan tentang apa yang mereka lihat, merancang dan melakukan
pengujian untuk menunjang atau menentang teori-teori mereka, menganalisis data,
menarik kesimpulan dari data eksperimen, merancang dan membangun model, atau
setiap kontribusi dari kegiatan tersebut di atas.
Seperti yang dikutip
oleh Suryosubroto dalam Trianto (2009) menyatakan bahwa, Inquiry merupakan
perluasan proses discovery, yang digunakan lebih mendalam, inquiry yang dalam bahasa Inggris Inquiry yang
berarti pertanyaan, atau pemeriksaan, penyelidikan. Inkuiri sebagai suatu
proses umum yang dilakukan manusia untuk mencari atau memahami informasi.
Gulo, (2005) menyatakan
bahwa, strategi inquiri berarti suatu rangkaian kegiatan belajar yang
melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan
menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka
dapat merumuskan sendiri penemuannya
dengan penuh percaya diri.
Ø Macam-macam
Model Pembelajaran Inquiry :
a. Inkuiri
Terbimbing (Guide Inquiry)
Pembelajaran
inkuiri terbimbing merupakan suatu model pembelajaran inkuiri yang dalam prosesnya guru menyediakan bimbingan dan
petunjuk yang cukup luas kepada
siswa. Sebagian besar perencanaanya dibuat oleh guru, siswa tidak merumuskan suatu masalah.
b. Modified
Inquiry
Model pembelajaran tipe ini guru tidak memberikan permasalahan,
kemudian siswa ditugasi untuk memecahkan permasalahan tersebut
melalui pengamatan,percobaan,atau prosedur penelitian untuk memperoleh
jawabannya.Disamping itu guru memperoleh narasumber yang tugasnya hanya
memberikan yang diperlukan untuk menghindari kegagalan dalam memecahkan
masalah.
c. Free
Inquiry
Model ini harus mengidentifikasi dan merumuskan macam-macam problema yang dipelajari dan dipecahkan. Jenis model ini lebih bebas dari pada yang
kedua jenis sebelumnya.
d. Inquiry
Role Approach
Model
pembelajaran inkuiri model ini melibatkan dalam tim-tim yang masing-masing terdiri atas empat untuk
memecahkan masalah yang diberikan. Masing-masing
anggota memegang peranan berbeda, yaitu sebagai coordinator tim, penasehat teknis, pencatat data, dan evaluator proses.
e. Invitation
Into Inquiry
Model inkuiri
jenis ini siswa dilibatkan dalam proses pemecahan masalah dengan cara-cara yang lazim ditempuh oleh para ilmuan, suatu
undangan (invitation) memberikan
suatu problema kepada para siswa dan melalui pertanyaan masalah yang lebih direncanakan dengan hati-hati
mengundang siswa untuk melakukan
beberapa kegiatan atau kalau ini mungkin semua kegiatan.
f. Pictorial
Riddle Inquiry
Model ini
merupakan metode mengarang yang dapat mengembangkan motivasi dan minat siswa dalam diskusi kelompok kecil atau besar.
Gambar, peragaan, atau situasi sesungguhnya
dapat digunakan untuk meningkatkan cara berpikir
kritis dan kreatif para siswa. Biasanya, suatu riddle berupa gambar di papan tulis, poster, atau
diproyeksikan dari suatu transparansi, kemudian guru mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan riddle itu.
g. Syneclis
Lesson Inquiry
Model jenis ini
memusatkan keterlibatan siswa untuk membuat berbagai macam bentuk kiasan,
supaya dapat membaca intelegensinya dan mengembangkan kreatifitasnya. Hal ini
dapat dilaksanakan karena dapat membantu siswa dalam berfikir untuk memandang
suatu problema sehingga dapat menunjang timbulnya ide-ide kreatif.
h. Value
clarification
Model
pembelajaran jenis inquiry ini siswa yang difokuskan pada pemberian penjelasan tentang suatu tata aturan nilai-nilai pada
suatu proses-proses pembelajaran. Jerome
Bruner, seorang profesor psikologi dan Harvard University di Amerika Serikat menyatakan beberapa
keuntungan sebagai berikut :
1) Siswa
akan mengerti konsep-konsep dasar dan ide-ide lebih baik
2) Membantu
dalam menggunakan ingatan dan transfer pada situasi-situasi proses belajar yang baru.
3) Mendorong
siswa agar dapat berfikir.
4) Mendorong
siswa untuk berfikir intuitif dan merumuskan hipotesisnya sendiri.
5) Memberikan
kepuasan yang bersifat intrinsik.
6) Situasi
proses belajar menjadi lebih menantang.
Ø Pelaksanaan
tahapan Pembelajaran Inkuiri
Gulo (2005) menyatakan bahwa, inkuiri tidak hanya
mengembangkan kemampuan intelektual tetapi seluruh potensi yang ada, termasuk
pengembangan emosional dan keterampilan.
Secara umum proses pembelajaran SPI dapat mengikuti langkah-langkah sebagai
berikut :
1)
Orientasi
Pada tahap ini guru melakukan langkah untuk membina
suasana atau iklim pembelajaran yang kondusif. Hal yang dilakukan dalam tahap
orientasi ini adalah :
a. Menjelaskan
topik, tujuan, dan hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai oleh siswa.
b. Menjelaskan
pokok-pokok kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa untuk mencapai tujuan.
Pada tahap ini dijelaskan langkah-langkah inkuiri serta tujuan setiap langkah,
mulai dari langkah merumuskan merumuskan masalah sampai dengan merumuskan
kesimpulan.
c. Menjelaskan
pentingnya topik dan kegiatan belajar. Hal ini dilakukan dalam rangka
memberikan motivasi belajar siswa.
2)
Merumuskan masalah
Merumuskan masalah merupakan langkah membawa siswa
pada suatu persoalan yang mengandung teka-teki. Persoalan yang disajikan adalah
persoalan yang menantang siswa untuk memecahkan teka-teki itu. Teka-teki dalam
rumusan masalah tentu ada jawabannya, dan siswa didorong untuk mencari jawaban
yang tepat. Proses mencari jawaban itulah yang sangat penting dalam
pembelajaran inkuiri, oleh karena itu melalui proses tersebut siswa akan
memperoleh pengalaman yang sangat berharga sebagai upaya mengembangkan mental
melalui proses berpikir.
3)
Merumuskan hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu
permasalahan yang dikaji. Sebagai jawaban sementara, hipotesis perlu diuji
kebenarannya. Salah satu cara yang dapat dilakukan guru untuk mengembangkan
kemampuan menebak (berhipotesis) pada setiap anak adalah dengan mengajukan
berbagai pertanyaan yang dapat mendorong siswa untuk dapat merumuskan jawaban
sementara atau dapat merumuskan berbagai perkiraan kemungkinan jawaban dari
suatu permasalahan yang dikaji.
4)
Mengumpulkan data
Mengumpulkan data adalah aktifitas menjaring
informasi yang dibutuhkan untuk menguji hipotesis yang diajukan. Dalam
pembelajaran inkuiri, mengumpulkan data merupakan proses mental yang sangat
penting dalam pengembangan intelektual. Proses pemgumpulan data bukan hanya
memerlukan motivasi yang kuat dalam belajar, akan tetapi juga membutuhkan
ketekunan dan kemampuan menggunakan potensi berpikirnya.
5)
Menguji hipotesis
Menguji hipotesis adalah menentukan jawaban yang
dianggap diterima sesuai dengan data atau informasi yang diperoleh berdasarkan
pengumpulan data. Menguji hipotesis juga berarti mengembangkan kemampuan
berpikir rasional. Artinya, kebenaran jawaban yang diberikan bukan hanya
berdasarkan argumentasi, akan tetapi harus didukung oleh data yang ditemukan
dan dapat dipertanggungjawabkan.
6)
Merumuskan kesimpulan
Merumuskan kesimpulan adalah proses mendeskripsikan
temuan yang diperoleh berdasarkan hasil pengujian hipotesis. Untuk mencapai
kesimpulan yang akurat sebaiknya guru mampu menunjukkan pada siswa data mana
yang relevan.
Ø Langkah
– langkah menerapkan model pembelajaran inquiry di dalam kelas :
1. Membentuk
kelompok-kelompok inkuiri. Masing-masing kelompok dibentuk berdasarkan rentang
intelektal dan keterampilan-keterampilan sosial.
2. Memperkenalkan
topik-topik inkuiri kepada semua kelompok. Tiap kelompok diharapkan memahami
dan berminat mempelajarinya.
3. Membentuk
posisi tentang kebijakan yang bertalian dengan topik, yakni pernyataan apa yang
harus dikerjakan. Mungkin terdapat satu atau lebih solusi yang diusulkan
terhadap masalah pokok.
4. Merumuskan
semua istilah yang terkandung di dalam proposisi kebijakan.
5. Menyelidiki
validitas logis dan konsisten internal pada proposisi dan unsur-unsur
penunjangnya.
6. Mengumpulkan
evidensi (bukti) untuk menunjang unsur-unsur proposes.
7. Menganalisis
solusi solusi yang diusulkan dan mencari posisi kelompok.
8. Menilai
proses kelompok.
Kemudian pendekatan inkuiri terbagi menjadi tiga
jenis berdasarkan besarnya intervensi guru terhadap siswa atau besarnya
bimbingan yang diberikan oleh guru kepada siswanya.
v Pembelajaran
dengan Metode Inkuiri Suchman
Pembelajaran inkuiri dengan metode Suchman
menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan pada siswa sebagai alternative untuk prosedur pengumpulan data. Inkuiri Suchman seperti yang dikutip
oleh Kardi dalam Trianto(2009) mempunyai kelebihan, yaitu :
1) Penelitian
dapat diselesaikan dalam waktu satu periode pertemuan. Waktu yang singkat ini
memungkinkan siswa dapat mengalami siklus inkuiri dengan cepat, dan pelatihan
mereka akan terampil melakukan inkuiri.
2) Lebih
efektif dalam semua bidang di dalam kurikulum.
Perbedaan utama antar inkuiri Suchman dengan Inkuiri
umum terletak pada proses pengumpulan data.
Suchman mengembangkan suatu motode penemuan baru
yang menuntun siswa mengumpulkan data melalui bertanya, maka dari itu model
pembelajaran inkuiri menurut Schuman harus memperhatikan :
1)
Struktur Sosial Pembelajaran.
Suasana kelas yang nyaman merupakan hal yang penting
dalam pembelajaran inkuiri Suchman karena pertanyaan-pertanyaan harus berasal
dari siswa agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik. Kerja sama guru
dengan siswa, siswa dengan siswa diperlukan juga adanya dorongan secara aktif
dari guru dan teman. Dua atau lebih siswa yang bekerja sama dalam berfikir dan
bertanya, akan lebih baik hasilnya jika dibanding bila siswa bekerja sendiri.
2)
Peran Guru
Pembelajaran inkuiri Suchman, peran guru memonitor
pertanyaan siswa untuk mencegah agar proses inkuiri, tidak sama dengan
permainan tebakan. Hal ini memerlukan dua aturan penting, yaitu : Pertanyaan
harus dapat dijawab “ya” atau “tidak” dan harus diucapkan dengan suatu cara
siswa dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan melakukan pengamatan;
Pertanyaan harus disusun sedemikian rupa sehingga tidak mengakibatkan guru
memberikan jawaban pertanyaan tersebut, tetapi mengarahkan siswa untuk
menemukan jawabannya sendiri.
3)
Sintaks Pembelajaran Inkuiri.
Dalam upaya menanamkan konsep, misalnya konsep IPA
Biologi pokok bahasan saling ketergantungan pada siswa, tidak cukup hanya sekedar ceramah. Pembelajaran akan lebih
bermakna jika siswa diberi kesempatan untuk tahu dan terlibat secara aktif
dalam menemukan konsep-konsep dari fakta-fakta yang dilihat dari lingkungan
dengan bimbingan guru.
Pada penelitian ini tahapan pembelajaran yang
digunakan mengadaptasi dari tahapan pembelajaran inkuiri yang dikemukakan oleh
Eggen & Kauchak dalam Trianto (2009).
Adapun tahapan pembelajaran inkuiri sebagai berikut :
a) Fase
Perilaku Guru
·
Menyajikan pertanyaan atau masalah guru
membimbing siswa mengidentifikasi masalah dan masalah dituliskan di papan. Guru
membagi siswa dalam kelompok.
·
Membuat hipotesis guru memberikan kesempatan
pada siswa untuk curah pendapat dalam membentuk hipotesis. Guru membimbing
siswa dalam menentukan hipotesis yang relevan
dengan permasalahan dan
memproiritaskan hipotesis mana yang menjadi prioritas penyelidikan.
·
Merancang percobaan guru memberikan
kesempatan pada siswa untuk menentukan langkah-langkah yang sesuai dengan
hipotesis yang akan dilakukan. Guru membimbing siswa mengurutkan
langkah-langkah percobaan.
·
Melakukan percobaan untuk memperoleh
informasi guru membimbing siswa
mendapatkan informasi melalui percobaan.
·
Megumpulkan dan menganilisis data guru memberi kesempatan kepada setiap
kelompok untuk menyampaikan hasil pengolahan data yang terkumpul.
·
Membuat kesimpulan guru membimbing siswa dalam membuat
kesimpulan.
Gulo dalam Trianto (2009)
menyatakan bahwa, strategi inkuiri berarti suatu rangkaian kegiatan belajar
yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan
menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh
percaya diri.
8.
Model
Pembelajaran dengan Pendekatan Open-Ended
Pendekatan
open-ended adalah "an instructional
strategy that creates interest and stimulates creative mathematical activity in
the classroom through students’ collaborative work. Lessons using open-ended
problem solving emphasize the process of problem solving activities rather than
focusing on the result" (Shimada &Becker, 1997; dan Foong, 2000).
Pendekatan open-ended
prinsipnya sama dengan pembelajaran berbasis masalah yaitu suatu pendekatan
pembelajaran yang dalam prosesnya dimulai dengan memberi suatu masalah kepada
siswa. Bedanya Problem yang disajikan memiliki jawaban benar lebih dari satu.
Problem yang memiliki jawaban benar lebih dari satu disebut problem tak lengkap
atau problem open-ended atau problem terbuka. Contoh penerapan problem
open-ended dalam kegiatan pembelajaran adalah ketika siswa diminta
mengembangkan metode, cara, atau pendekatan yang berbeda dalam menjawab
permasalahan yang diberikan dan bukan berorientasi pada jawaban akhir.
Dihadapkan dengan problem open-ended
siswa tidak hanya mendapatkan jawaban tetapi lebih menekankan pada cara
bagaimana sampai pada suatu jawaban. Pembelajaran dengan pendekatan open-ended
biasanya dimulai dengan memberikan problem terbuka kepada siswa. Kegiatan
pembelajaran membawa siswa dalam menjawab pertanyaan dengan banyak cara dan
mungkin juga dengan banyak jawaban sehingga mengundang potensi intelektual dan
pengalaman siswa dalam menemukan sesuatu yang baru.
Tujuan pembelajaran
melalui pendekatan open-ended menurut Nohda (Erman Suherman dkk, 2003:124)
yaitu untuk membantu mengembangkan kegiatan kreatif dan pola pikir matematis siswa melalui
problem solving secara simultan. Dengan kata lain kegiatan kreatif dan pola
pikir matematis siswa harus dikembangkan semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuan setiap peserta didik agar aktivitas kelas yang penuh ide-ide
matematika memacu kemampuan berfikir tingkat tinggi peserta didik.
Pendekatan open-ended
menjanjikan suatu kesempatan kepada siswa untuk menginvestigasi berbagai
strategi dan cara yang diyakininya sesuai dengan mengelaborasi permasalahan.
Tujuannya agar kemampuan berpikir matematika siswa dapat berkembang secara
maksimal dan pada saat yang sama kegiatan-kegiatan kreatif dari setiap siswa
dapat terkomunikasikan melalui proses belajar mengajar. Pokok pikiran dari
pembelajaran dengan open-ended yaitu pembelajaran yang membangun kegiatan
interaktif antara matematika dan siswa sehingga mengundang siswa untuk menjawab
permasalahan melalui berbagai strategi. Dengan kata lain pembelajaran
matematika dengan pendekatan open-ended bersifat terbuka.
Dalam pembelajaran
matematika, pendekatan open-ended berarti memberikan kesempatan pada siswa
untuk belajar melalui aktivitas-aktivitas real life dengan menyajikan fenomena
alam seterbuka mungkin pada siswa. Bentuk penyajian fenomena dengan terbuka ini
dapat dilakukan melalui pembelajaran yang berorientasi pada masalah atau soal
atau tugas terbuka. Secara konseptual masalah terbuka dalam pembelajaran
Matematika adalah masalah atau soal-soal Matematika yang dirumuskan sedimikian
rupa, sehingga memiliki beberapa atau bahkan banyak solusi yang benar, dan
terdapat banyak cara untuk mencapai solusi itu.
Dalam pendekatan
open-ended guru memberikan permasalahan kepada siswa yang solusinya atau
jawabannya tidak hanya ditentukan hanya dengan satu jalan atau cara. Guru harus
memanfaatkan keberagaman cara atau prosedur untuk menyelesaikan masalah itu
untuk memberi pengalaman siswa dalam menemukan sesuatu yang baru berdasarkan
pengetahuan, keterampilan dan cara berpikir matematika yang telah diperoleh
sebelumnya.
Ø Keunggulan
dari pendekatan ini antara lain :
a)
Siswa berpartisipasi lebih aktif dalam
pembelajaran dan sering mengekspresikan idenya.
b)
Siswa memiliki kesempatan lebih banyak
dalam memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan matematik secara komprehensif.
c)
Siswa dengan kemampuan matematika rendah
dapat merespon permasalahan dengan cara mereka sendiri.
d) Siswa
secara instringsik termotivasi untuk memberikan bukti atau penjelasan.
e)
Siswa memiliki pengalaman lebih banyak
untuk menemukan sesuatu dalam menjawab permasalahan.
Ø Kelemahan
dari pendekatan ini antara lain :
a)
Membuat dan menyiapkan permasalahan
matematik yang bermakna bagi siswa bukanlah pekerjaan yang mudah.
b)
Mengemukakan masalah yang langsung dapat
dipahami siswa sangt sulit sehingga banyak siswa yang mengalami kesulitan
bagaimana merespon permasalahan yang diberikan.
c)
Siswa dengan kemampuan tinggi bisa
merasa ragu atau mencemaskan jawaban mereka.
d) Mungkin
ada sebagian siswa yang merasa bahwa kegiatan belajar mereka tidak menyenangkan
karena kesulitan yang mereka hadapi.
Pembelajaran
dengan pendekatan open-ended mengharapkan siswa tidak hanya mendapatkan jawaban
tetapi lebih menekankan pada proses pencarian suatu jawaban. Erman Suherman,
dkk (2003:124) mengemukakan bahwa dalam kegiatan matematika dan kegiatan siswa
disebut terbuka jika memenuhi ketiga aspek berikut :
1) Kegiatan
siswa harus terbuka artinya kegiatan pembelajaran harus mengakomodasi
kesempatan siswa untuk melakukan segala sesuatu secara bebas sesuai kehendak
mereka.
2) Kegiatan
matematika merupakan ragam berpikir artinya kegiatan yang di dalamnya terjadi
proses pengabstraksian dari pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari ke
dalam dunia matematika atau sebaliknya.
3) Kegiatan
siswa dan kegiatan matematika merupakan satu kesatuan. Guru diharapkan dapat
mengangkat pemahaman dalam berpikir matematika sesuai dengan kemampuan
masing-masing individu. Meskipun pada umumnya guru akan mempersiapkan dan
melaksanakan pembelajaran sesuai dengan pengalaman dan pertimbangan
masing-masing. Guru bisa membelajarkan siswa melalui kegiatan-kegiatan
matematika tingkat tinggi yang sistematis atau melalui kegiatan-kegiatan
matematika yang mendasar untuk melayani siswa yang kemampuannya rendah.
Pendekatan uniteral semacam ini dapat dikatakan terbuka terhadap kebutuhan
siswa ataupun terbuka terhadap ide-ide matematika.
MODEL
PEMBELAJARAN MATEMATIKA KURIKULUM 2013
![]() |
Nama
Kelompok 5 :
- Krisna Yana Yahya (1331046)
2. Ma’rifatul
Ilmiyah (1331054)
3. Nur
Rosidah Elysianah (1331082)
4. Putri
Novita Sari (1331088)
5. Sulis
Setiyawati (1331100)
STKIP
PGRI SIDOARJO
TAHUN
AJARAN 2014-2015
MATEMATIKA
2013A PAGI
0 komentar:
Posting Komentar